Hay, apakah Anda sedang bertanya-tanya mengenai gancaran? Sesuatu yang agak asing di telinga orang awam, bahkan diri saya sendiri yang asli sebagai orang asli DIY. Gancaran adalah cara mengerti atau mengetahui isi dari sebuah geguritan atau tembang.
Secara mudahnya gancaran ini adalah parafrase atau penarasian dari puisi ataupun lagu. Apakah Anda menemukan sebuah pertanyaan “tembang sing digawe gancaran jenenge” dalam pelajaran Bahasa Jawa di sekolah?
Nah, kalimat tersebut apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah “lagu yang dibuat gancaran bernama”. Jadi tembang yang dibuat gancaran dinamakan parafrase.
[adinserter block=”1″]Secara umum terdapat dua cara untuk memparafrasekannya. Pertama, secara bebas atau gancaran bebas di mana sebuah tembang atau geguritan akan diubah secara keseluruhan dengan bahasa sendiri. Sedangkan cara keduanya adalah dengan menambahkan sebuah geguritan atau tembang dengan dua atau satu kata saja sehingga tidak merubah bahasanya secara total.
Berikut ini akan saya bahas mengenai contoh gancaran untuk mempermudah dalam mengenal dan mengerti tentangnya.
Contoh Gancaran Tembang Gambuh:
Berikut ini adalah gancaran tembang gambuh dalam bahasa jawa yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Tembang gambuh adalah tembang macapat dengan jumlah 11. Di mana memiliki filosofi berupa lengkap, cocok dan sarujuk.
Tembang ini menggambarkan sebuah proses di mana manusia satu dengan lainnya saling berinteraksi atau melengkapi dalam ikatan/hubungan pernikahan.
Tembang gambuh serat wedhatama pada 1:
Samengko ingsun tutur, (Kelak saya berkata,)
sembah catur supaya lumuntur, (Empat macam sembah/khidmat supaya dilestarikan,)
dihim raga, cipta jiwa, rasa, kaki, (antara lain sembah badan, cipta, jiwa, rasa, putraku)
ing kono lamun tinemu, (di sanalah akan bertemu,)
tandha nugrahing manon. (tanda anugerah Tuhan.)
Selain tembang gambuh, masih ada lagi tembang yang sudah umum dikenal dalam gancaran ini, yaitu gancaran tembang pangkur dalam bahasa jawa yang menceritakan mengenai kehidupan seorang manusia yang sekarang sudah mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Tembang pangkur ini memberikan gambaran mengenai seorang manusia yang sudah renta dan memiliki badan yang telah melemah. Maka dari itu, tembang ini biasanya digunakan dalam karya yang memiliki tema berupa cinta, persahabatan dan nasehat.
Nasehat-nasehat yang biasanya terdapat dalam tembang ini berupa cara memperoleh kehidupan yang baik yaitu dengan menjauhi amarah dan hawa nafsu yang mengekang manusia.
Tembang Pangkur
Berikut ini adalah contoh gancaran tembang pangkur dalam bahasa jawa dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang berasal dari Wedhatama:
Mingkar-mingkuring ukara (Membolak-balikkan kata)
Akarana karenan mardi siwi (Karena akan atau hendak mendidik anak)
Sinawung resmining kidung (Tersirat dalam indahnya tembang)
Sinuba sinukarta (Dihias penuh warna)
Mrih kretarta pakartining ilmu luhung (Agar menjiwai suatu hakekat ilmu luhur)
Kang tumrap ing tanah Jawa (Yang berada di tanah Jawa)
Agama ageming aji. (Agama “pakaian” diri)
Pembahasan berikutnya adalah mengenai gancaran tembang macapat sinom yang tidak kalah terkenalnya dengan tembang-tembang sebelumnya. Tembang yang satu ini tidak hanya sebuah lagu melainkan juga sebagai media atau sarana berdakwah, yang memberikan pesan moral dan nasehat-nasehat agar manusia dapat mendapatkan kebaikan dalam menjalani hidupnya.
Sinom di sini berarti anak muda, berarti nasehat-nasehat dalam syairnya ditujukan kepada anak muda pula. Hal ini dapat dilihat melalui syairnya yang melambangkan anak muda yang sedang berkembang untuk menemukan siapa dirinya, siapa jati dirinya, dalam masa pencarian ini anak muda memiliki emosi yang labil atau berubah-ubah sehingga sangat berbahaya apabila salah arah.
Pencipta dari tembang ini adalah Sunan Muria di mana memberikan warna watak cinta kasih, senang pada pujaan, luwes, ramah, gagah dan cekatan dalam liriknya.
Tembang Macapat Sinom
Berikut ini adalah contoh gancaran tembang macapat sinom:
Lakune bocah sekolah (Sudah menjadi perilaku anak sekolahan)
Sinau rino lan wengi (Belajar siang dan malam)
Kudune bocah sekolah (Seharusnya anak sekolah)
Mesti pinter lan setiti (Harus pintar dan teliti)
Nanging jaman saiki (Namun, jaman sekarang)
Sinanune ora luhur (Belajarnya tidak baik)
Karo seneng dolanan (Dengan suka bermain)
Ora bisa migunani (Kurang bisa bermanfaat)
Mung bisa njaluk lan nyusahke wong tuwa (Hanya bisa meminta dan menyusahkan orang tua)
Nah, apakah sekarang Anda sudah mengenal dan mengerti lebih jauh mengenai cara parafrase, contoh gancaran dan tujuan dibuatnya sebuah tembang yang ternyata begitu mengena? Ya, kebudayaan jawa memang patut diacungi jempol karena memuat makna terpendam yang sekarang ini sudah jarang diketahui anak muda. Semoga tulisan ini bermanfaat ya…